Friday, July 1, 2011

Makalah ILMU RASMIL QUR’AN

ILMU RASMIL QUR’AN

I. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kalamullah yang di turunkan kepada nabi muhammad melalui malaikat Jibril, darinya ditetapkan sumber Islam dalam menangani bermacam macam kasus.
Al-Qur’an masa nabi masih di tulis berserakan seperti pada pelepah kurma, kulit unta dan lain. Maka pada khalifah Abu Bakar, al-Qur'an itu di kumpulkan atas permintaan umar karena pada masa itu terjadi peperangan yang mengakibatkan banyak penghafal al-Qur'an yang sahid dalam peperangan. Begitu pula ada masa Usman, al-Qur'an di tulis kembali. Karena pada masa ini Islam telah berkembang luas sehingga terjadi banyak dialek bahasa dan mempengaruhi al-Qur'an sehingga dengan kebijakan khalifah di tulislah al-Qur'an untuk pegangan umat islam supaya tidak terjadi perpecahan.
II. PERMASALAHAN
Dalam makalah ini kami akan mencoba kembali memaparkan hal yang berkaitan dengan ilmu rosmil quran yang antara lain:
a. Dasar-dasar ilmu rosmil al-Qur'an
b. Cara-cara menulis al-Qur'an .
III. PEMBAHASAN
A. Dasar-Dasar Ilmu Rosmil Quran
Pada masa Ustman dia membentuk badan yang di ketuai oleh Zaid bin Tsabit untuk menyalin berapa muskhaf yang akan dikirimkan di kota-kota besar. Tharikoh ini diistilahkan oleh para ulama dengan nama Rosmul Mushaf. Kerap kali rosam ini di beri kedudukan yang tinggi, adalah karena khalifah yang telah menyetujui nya dan menetapkan pelaksanaannya.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa rasam Usmany, adalah rasam taukif yang di letakan cara menulis nya oleh Nabi. Mereka menisbahkan pada Nabi, padahal Nabi seorang yang ummy, tidak pandai menulis, adalah Nabi pernah berkata kepada mu’awiyah, seorang penulis wahyu : “Letakan dawat, tahrifkan kalam, nasabkan ba, ceraikan sin, dan jangan engkau menjelekkan mim, tuliskan dengan sebaik-baiknya lafad Allah, panjangkan Arrahman, perbaiki tulisan Arrahim, letakkan kalam di telinga engkau yang kiri yang demikian itu lebih dapat memberi ingatan kepada engkau.
Diantara orang yang sangat keras mempertahankan pendapat ini ialah Ibn Mubarak yang telah menguraikan dalam kitabnya, ia berkata kepadanya: “Sahabat ataupun orang lain tidak turut campur tangan walaupun sedikit, dalam menentukan cara penulisan al qur’an dan menetapkan tulisan yang dipakai untuk itu. Hal itu adalah semata-mata menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Nabi. Beliau lah yang menyuruh sahabat menulis nya dalam bentuk yang terkenal ini, dengan menambah alif, mengurangi nya karena ada rahasia-rahasia yang tidak dapat dicapai oh akal. Itu adalah suatu rahasia yang dikhususkan Allah untuk kitabnya ini yang tidak diberikan kepada kitab-kitab lain. Sebagaimana nadzam al Qur’an, mu’jis maka rasamnya pun mu’jis. Bagaimana akal bisa mengetahui rahasia menambah alif pada perkataan (مائة) tidak ditambah pada perkataan (فئة) . Dan bagaimana pula akal mengetahui rahasia menambah(ي) pada dan ( ). Bahkan bagaimana akal mengetahui rahasia ditambah alif pada ( ) di surat al Hajj, tidak ada alif pada ( )di surat saba’. Bagaimana akal bisa mengetahui rahasia ditambah alif pada ( ) diaman saja dijumpai, sedang pada ( )di surat al Furqan tidak ditambah alif. Bagaimana akal bisa mengetahui rahasia ditambah alif pada ( ) dan tidak adanya alif pada ( ) dan ( ) di surat Al Baqarah. Bagaimana akal mengetahui rahasia ditambah alif pada ( ) tidak adanya alif pad ( ) di surat An Nisa. Terus bagaimana pula akal mengetahui sebab dibuang sebagian huruf di kalimat-kalimat yang serupa, sedang pada sebagian yang lain tidak, seperti pada ( ) di surat Yusuf dan Azzukhruf, sedangkan pada tempat yang lain tidak dibuang bagaimana pula akal dapat mengetahui sebab di tulis alif sesudah wawu pada ( ) surat al Fusillat dan dibuangnya pada surat-surat yang lain. Demikian pula adanya alif pada ( ) secara mutlak tetapi dibuang ( ) yang terdapat dalam surat al Anfal demikian pula adanya alif pada ( ) dimana saja dia diperoleh, tetapi dibuangnya di surat al Furqan. Begitu bagaimana akal mengetahui sebab dibuang sebagian ta’ dan tidak dibuang pada sebagian. Itu semuanya adalah karena rahasia-rahasia ketuhanan dan maksud-maksud kenabian. Hal itu tidak diketahui oh manusia, karena dia adalah rahasia-rahasia batin yang hanya diketahui dengan limpahan tuhan semata, sama dengan lafal-lafal dan huruf-huruf potongan di permulaan surat. Baginya ada rahasia-rahasia yang besar dan makna-makna yang banyak.
Dengan berpegang kepada dasar ini, Az Zaqany mengarang al manahil, menetapkan bahwa sebagian dari keistimewaan-keistimewaan rasam ustmany, ialah rasam itu menunjukkan kepada makna yang tersembunyi, seperti tambahan ya pada tulisan kalimat ( ) pada firman Allah Swt: wassama a banainaha bi aidin= dan kami telah ciptakan langit dengan tangan-tangan (Q. S. 51, Adz Dzariyat: 47), yang ditulis dengan dua ya. Hal itu untuk mengisyaratkan kepada keagungan kekuasaan Allah yang telah membina langit. Dan bahwa kekuatan Allah itu tidak dapat disamai oleh sesuatu kekuatan pun, sesuai dengan kaidah ziyadatul mabna tadullu ala ziyadatil ma’na= berlebih huruf dalam bentuk kalimat menunjukkan kepada berlebih makna.
Tidaklah dapat jika ragu bahwa hal ini adalah lantaran terlalu dalam mentaqdiskan rasa, Ustmany. Tidaklah dir\terima akal sedikitpun dan bahwa rasam ini tauqifi dan tidak pula rasam itu mengandung rahasia yang di kandung oleh Fawatihus Suwari. Tidak ada suatu hadist pun yang shahih yang menerangkan bahwa rasam al qur’an adalah tauqif dan tidak ada jalan masuk membandingkan hal ini dengan huruf-huruf potong yang menjadi permulaan surat-surat al qur’an. Sebenarnya para penulislah yang telah mempergunakan istilah ini dimasa Ustman. Dan istilah itu disetujui oleh khalifah. Bahkan khalifah membuat suatu pedoman yang harus dipegangi diwaktu terjadi perbedaan pendapat yaitu:
“Apabila kamu bewrselisih dengan Zaid ibn Tsabit pada sesuatu lafal al qur’an maka tulislah dengan bahasa quraisy”.
Menghormati rasam Ustmany dan memandang baik dituruti rasam itu adalah suatu urusan yang berbeda dengan menetapkan bahwa rasam itu diterima dari nabi dengan tauqifi. Banyak ulama yang mengharuskan kita mengikuti rasam ini.
B. Cara-cara Menulis al-Qur'an
Ahmad bin Hambal berkata:




“Haram menyalahi tulisan mushaf Ustman, baik pada wawu, alif, ya atau yang selainnya”.
Diwaktu menanyakan kepada Malik tentang pendapatnya mengenai irang yang menulis al-Qur'an dengan kaidah hija’iyah (kaidah imlak), Malik berkata :

“ Saya tidak berpendapat demikian, akan tetapi hendaklah ditulis menurut tulisan pertama”.
Dalam fiqih syafi’iyah dan hanafiyah ad pendapat-pendapat yang serupa. Namun demikian tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa rasam ini taiqifi dan mengandung rahasia azali. Mereka mengharuskan kita mengikuti rasam itu, adalah untuk memelihara persatuan, supaya kita tetap berpegang pada satu syi’ar dan satu istilah. Karena yang membuat dustur iuni adalah Ustman, sedang yang melaksanakannya adalah zaid binzabid seorang penulis wahyu dan orang kepercayaan rasul.
Dalam pada itu, ada sebagian ulama yang tidak saja membolehkan kita menyalahi rasam Ustamani bahkan dengan tandas menjelaskan bahwa rasam itu istilakhi, sekali-kali bukan tauqifi.
Diantara yang berkata demikian adalah Abubakar al Bakillani dalam kitabnya al intisari. Beliau berkata: “ Adapun bentuk tulisan maka allah tidak memfardukan sesuatupun atas umat pada bentuk tulisan itu, karenanya tidaklah diharuskan penulis-penulis al-Qur'an dan ahli khath yang menulis muskhaf mengikuti satu rasam saja, tidak boleh yang lain, lantaran mewajibkan yang demikian itu haruslah dengan ada dalil tauqf. Tidak ada di dalam nash-nash al-Qur'an dan tidak ada pula dalam mafhumnya bahwasanya rasam al-Qur'an dan dhabitnya haru sdg cara tertentu, batas tertentu, tidak boleh dilampaui. Tidak ada pula di dalam iojma’ umat dan tidak ada pula ditunjuki yang demikian oleh kias-kias syar’I bahkan sunnah menunjukkan kepada boleh kita rasamkan mana yang mudah, karena rasulallah tidak menerangkan kepada para penulis cara yang haru ditempuh di dalam menulis mushaf dan tidak pula melarang seorang penulisnya, oleh karena itu berbeda-bedalah tulisan mushaf. Ada diantara mereka orang yang menulis kalimat menurut makhraj lafal. Dan ada juga yang menambah tau menguranginya, karena dia mengetahui bahwa yang demikian itu adalah istilah. Karena itu bolehlah ditulis dengan huruf-huruf kuffah dan khath pertama dan boleh dijadikan lam berupa kaf dan dibengkokan alif, dan boleh pula ditulis dengan cara yang lain dengan khath dan hija yang baru.
Sebabnya yang demikian ini ialah, khath-lhath hanyalah tanda dan rasam yang merupakan isyarat dan rumus. Maka setiap rasam yang menunjukkan kepada kata yang memudahkan kita membacanya dengan baik, dapat lah dibenarkan.
Segala orang yang mengatakan bahwa wajib atas manusia menempuh rasam yang satu wajibkah dia menegakkan hujah untuk membuktikan kebenaran perkataannya.
IV. KESIMPULAN
Dalam rasmil al-Qur'an terjadi perbedaan pendapat, sebagian berpendapat bahwa rasam usmani adalah tauqifi jadi tidak boleh dirubah sebagian yang lain berpendapat bahwa rasam ustmani bukan tauqifi jadi bisa dirubah sesuai apa yang mudah dipahami oleh umat.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat. Kami sadar dalam hal pembuatan makalah ini pasti banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik selalu kami harapkan demi sempurnanya makalah ini. Dan mudah-mudahan bermanfaat. Amiiiin



DAFTAR PUSTAKA

Dawud al Aththar, Pespektif Baru Ilmu Ai Qur’an, Pustaka Hidayah, Bandung, 1994,
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, Ilmu-Ilmu Al Qur’an, Riski Putra, Semarang, 2002
Subhi As Shahih, Membahas Ilmu Ilmu Al Qur’an, Penerjemah Tim Pustaka Firdaus, Pestaka Firdaus, Jakarta, 1985

No comments:

Post a Comment