Sunday, July 10, 2011

PEMIKIRAN ISLAM TRANSFORMATIF

ISLAM TRANSFORMATIF
I. PENDAHULUAN
Kalangan Islam Transformatif banyak berkembang dikalangan cendekiawan yang latar belakang pendidikannya bukan IAIN, melainkan memiliki komitmen tinggi terhadap Islam atau bisa juga dari kalangan IAIN. Tetapi kemudian mengapresiasi kan ilmu sosial sedemikian rupa, melebihi apresiasi nya terhadap ilmu-ilmu tradisional Islam. Disamping itu mereka diwarnai oleh tradisi sosio kritis.
Islam Transformatif menganalisis dunia sosial yang lebih luas, khususnya analisis terhadap kapitalisme dan peranan negara dalam proses ketidakadilan sosial, kemiskinan dan keterbelakangan. Suatu hal yang diabaikan begitu saja atau tidak diperhatikan secara mendalam oleh kalangan “Islam Rasional”.
II. PERMASALAHAN
A. Pengertian Islam Transformatif.
B. Latar Belakang Munculnya Islam Transformatif .
C. Karakteristik Dan Pemikiran.
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam Transformatif
Islam Transformatif yaitu: komitmen sebagai mahluk zoon politician terhadap mereka yang tertindas, untuk bersama-sama berusaha mengusahakan pembebasan. Dengan demikian, memfungsikan agama dalam konteks sekarang dan dimasa yang akan datang, tidak lagi cukup dengan berbicara atau menafsirkan tentang tuhan (seperti arti “teologi” selama ini “ilmu tentang tuhan”), tetapi tidak kalah penting ikut terlibat mengubah kondisi material yang telah membawa masyarakat dalam situasi de Humanisasi itu.
B. Latar Belakang Munculnya Islam Transformatif
Tampaknya respon kalangan “modernisasi Islam’ berangkat dari kepedulian akan keterbelakangan umat Islam d dunia sekarang. Keterbelakangan itu disebabkan oleh kepicikan berpikir, kebodohan dan ketertutupan dalam memahami ajaran agamanya sendiri. Itulah yang membuat umat Islam tertinggal dari kemajuan yang dicapai barat.
Paradigma modernisasi Islam cenderung melakukan liberalisasi pandangan yang adaptif terhadap kemajuan zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dari proses modernisasi. Jadi bagi kalangan modernisasi Islam, persoalannya adalah bagaimana dengan tradisi teks mengembangkan pesan Islam dalam konteks perubahan sosial. Hal ini sangat berbeda dengan kalangan Islamisasi yang cenderung berupaya menggali teks dalam rangka mengendalikan perubahan sosial. Oleh karena itu, kalangan terakhir ini cenderung lebih dulu merumuskan ukuran normatif di berbagai bidang kehidupan termasuk ilmu, teori ilmu-ilmu sosial, sistem ekonomi, bahkan busana sehingga ditemukan corak yang lebih khas Islam. Oleh karena kecenderungan Islamisasi berangkat dari teks atau sumber wahyu, watak nya sangat totalistis, yang dalam semua segi kehidupan harus diresapi dengan norma Islam. Sehingga, sangat tidak mungkin munculnya ruang yang kosong untuk menerima kenyataan yang bersifat partikularistis atau kemajemukan. Sedangkan paradigma modernisasi dalam pemikiran Islam tampaknya lebih menampilkan kelenturan, keterbukaan dalam menghadapi dunia yang plural dan terus berubah. Disini para pemikir modernisasi Islam tidak menaruh ambisi mengislamkan setiap aspek kehidupan. Sebab otoritas agama sebagai ad-Din dan perkembangan aspek sosial umat islam mempunyai basis nya masing-masing.
Sebagai contoh, kata Nur Kholis Madjid, hubungan antara agama dan negara bukanlah hubungan saling menguasai, namun satu sama lain bersifat dialogis terus menerus. Begitu pula hubungan antara ideologi dan agama. Bahkan Nur Kholis Madjid dalam soal negara menganggap hal ini bersifat instrumental, dalam arti hanya alat untuk mewujudkan masyarakat yang etis dan diredhai tuhan. Adapun dalam soal ini, abdurrahman wahid melihatnya sebagai hubungan yang komplementer satu sama lain, yang saling membutuhkan.
Kalangan “Islamisasi”, seperti telah diungkapkan di atas, sebenarnya lahir dari kekhawatiran bahwa barat telah merasuki peradaban kaum muslimin dengan sifat yang dekadensi terhadap agama. Modernisasi pada dasarnya adalah peradaban barat yang macet, karena perangkat materialistis tidak memberikan masa depan agama. Oleh karena itu islam harus mencari alternatif terhadap sekularisme dan ideologi barat yang tidak manusiawi. Yaitu dengan menggali dan membangun norma-norma Islam dalam segala aspek kehidupan. Jadi, ada titik tolak yang berbeda, karena dalam hal ini ada kerangka definisi yang berbeda terhadap realitas. Paradigma, “Modernisasi” seolah-olah bahwa kemunduran umat islam disebabkan persoalan kejumudan dalam menafsirkan cara Islam menatap perubahan zaman. Sedangkan “Islamisasi” lebih melihat ancaman barat yang dominan dan umat islam harus berlindung menyelamatkan identitas dan otentitas ajaran agamanya.
Dalam keadaan situasi perkembangan umat Islam diwarnai dengan dua paradigma diatas, akhir-akhir ini tampak ada kecenderungan baru melalui isu pengembangan “teologi kontekstual”. Atau penganjuran nya kadang-kadang menyebutnya sebagai “teologi pembangunan” atau ada juga sebagai “teologi Transformatif”. Jika orientasi paradigma “modernisasi” lebih bertolak dari isu tentang kebodohan, keterbelakangan dan kepicikan, dan paradigma “Islamisasi” mengambil topik persoalan normatif antara yang “Islami” dan yang tidak “Islami”, atau mana yang “asli” dan mana yang bid’ah maka “teologi Transformatif” lebih menaruh perhatian terhadap persoalan keadilan dan ketimpangan sosial saat ini. Itulah yang dianggap sebagai agenda besar yang menjadikan banyak umat manusia tidak mampu mengekspresikan harkat dan martabat kemanusiaan nya.
C. Karakteristik Dan Pemikiran
Bagi kalangan teologi Transformatif , semua persoalan peradaban manusia sekarang ini dianggap berpangkal pada persoalan ketimpangan sosial ekonomi, karena adanya struktur yang kurang adil. Terdapatnya sejumlah orang yang jauh dari agama antara lain disebabkan oleh faktor adanya jarak sosial ekonomi yang cukup berjarak antara mereka yang dhuafa dan pusat-pusat ortodoksi agama. Secara fisik misalnya, jarak antara masjid dan pasar itu umumnya sangat dekat. Namun secara sosial ekonomis tidak jarang banyak bakul gendongan enggan berteduh disitu, bahkan merasa maqomnya tidak patut harus bergaul dengan orang-orang “saleh” yang berkecukupan hidupnya. Kesalehan seringkali harus diartikan dengan biaya mahal, karena harus membayar zakat, memakai sorban haji, atau harus pergi ke sekolah agama yang jauh untuk menjadi seorang alim. Dalam kaitan ini, yang lebih tragis, jika agama ikut terlibat dalam proses ketimpangan sosial itu.
Struktur yang timpang, bagi kalangan “teologi Transformatif” bahkan dipandang sebagai bagian dosa barat yang membawa ide modernisasi. Sebab modernisasi dalam prakteknya sering melakukan eksploitasi, dengan sumber-sumber informasi dan ekonomi hanya dikuasai sekelompok orang elite yang dengannya mengontrol sejumlah orang yang hidup tanpa kesempatan dan harapan untuk mengubah masa depannya.
Kalangan teologi Transformatif menyimpulkan bahwa agama dalam proses modernisasi sekarang ini melahirkan tiga corak, yaitu:
Pertama, tampil sebagai alat rasionalisasi atau modernisasi atau modernisme, dengan melahirkan tumbuhnya teologi rasional yang memicu pada tumbuhnya kepentingan intelektualisme sekelompok akademikus.
Kedua, sebagai alat legitimasi atas nama melancarkan dan mendukung berhasilnya program-program modernisasi. Program-program ini dirancang dan dilaksanakan secara teknokratis berdasarkan paradigma pertumbuhan ekonomi, dan bukan untuk pertumbuhan nilai-nilai dasar pembangunan harkat kemanusiaan sendiri. Dalam konteks seperti ini, corak teologi paralelisme yang bersifat justifikatis.
Ketiga, kelompok masyarakat tertentu, terutama “kaum dhuafa”, yang tidak terserap ke dalam dialog besar program modernisasi dewasa ini, terpaksa menghanyutkan diri dalam impian teologi eskatologis yang bersifat eskapistis. Mereka tidak jarang menunjukkan sikap hidup fetalistis: bahwa dunia hanyalah tempat bersinggah untuk minum, bahwa dunia hanyalah penjara bagi orang yang beriman dan surga bagi orang-orang kafir, dan sebagainya.
Jadi agama dalam tiga corak diatas tidak berangkat atau menyentuh problem yang ada dalam realitas. Agama berhenti dan hanya asyik mempersoalkan kerangka utopis pada tingkat super struktur. Dalam situasi yang semacam itu, teologi harus dirumuskan kembali berdasarkan realitas struktural yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehari-hari dan dihadapi oleh kelompok-kelompok masyarakat Indonesia.
Yang paling penting, prinsip “teologi Transformatif” itu tidak bersifat ortodoksi dan harus terkait dengan ortopraksis. Ia hanya berwatak fasilitatif, dalam arti memberi fasilitas sebagai kerangka bacaan melihat realitas. Juga tidak ada hubungan patron klien dalam membaca kehendak tuhan. Dan mementingkan isi dari pada bentuk ungkapan simbolis agama. Serta dengan jelas menuju cita-cita perwujudan masyarakat muttaqin, dengan setiap orang mempunyai derajat yang setara dihadapan kebenaran Allah SWT.
IV. KESIMPULAN
Islam Transformatif yaitu: komitmen sebagai mahluk zoon politician terhadap mereka yang tertindas, untuk bersama-sama berusaha mengusahakan pembebasan. Islam Transformatif menghendaki agar kaum muslimin menciptakan tata sosial moral yang adil dan egaliter, dalam rangka menghilangkan penyelewengan diatas dunia.
Dalam pemikiran keagamaan Transformatif diyakini pertama kali bahwa, ”manusia ditentukan lingkungannya”. Itulah sebenarnya, mengusahakan tujuan transformasi dan egaliterianisme, dilakukan dengan: “mengubah dunia untuk mengubah manusia, bukan manusia mengubah manusia untuk mengubah dunia.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, kami yakin bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan pemikiran kami. Untuk itu saran dan kritik sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini, dan semoga bermanfaat. Amiin.






















DAFTAR PUSTAKA


Budhi Munawar Rahman, Islam Pluralis, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2004
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Pustaka Firdaus. Jakarta: 1995
Syahrin Harahap, Islam Dinamis. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta: 1997
Mansoer FakihMansoer Fakih, Mencari Teologi Untuk Kaum Tertindas. LSAF, Jakarta:1986

No comments:

Post a Comment