Monday, June 27, 2011

KORUPSI DALAM PANDANGAN HUKUM


KORUPSI DALAM PANDANGAN HUKUM

I. PENDAHULUAN
Ketika berbicara hukum, orang cenderung mengupas beberapa aturan yang ada selain melihat hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun saat ini aturan tertulis (hukum positif) sering dilirik karena dianggap lebih mencerminkan kepastian hukum.
Begitu pula dalam berbicara tentang korupsi, orang akan cenderung menengok pada aturan yang ada, meskipun aturan tersebut jauh dari kesempurnaan. Selain itu dalam penanganan kasus korupsi yang dibutuhkan adalah keberanian aparat penegak hukum untuk benar-benar menerapkan aturan yang ada 10 Perangkat hukum (peraturan perundang-undangan) yang ada hanya menjadi salah satu (bagian kecil) dari penegakan hukum termasuk dalam hal pemberantasan korupsi.
Dengan perangkat itulah aparat penegak hukum sudah seharusnya bergerak dan melakukan langkah-langkah progresif untuk melaksanakan komitmen memberantas korupsi. Undang-Undang berusaha dibuat untuk mengatur masyarakat sehingga apabila terjadi pelanggaran akan dapat dikenakan hukuman tertentu yang setimpal.
II. PERMASALAHAN
Dalam makalah ini saya akan menjelaskan tentang korupsi ditinjau dari segi hukum pidana, yaitu antara lain:
1. Apakah Korupsi itu?
2. Ciri-Ciri Korupsi
3. Unsur-Unsur Korupsi
4. Siapa yang melakukan ?
5. Apa yang mereka lakukan ?
6. Apa tujuannya ?
7. Bagaimana hal itu dapat mereka lakukan ?
8. Apa akibat perbuatan tersebut ?
9. Menangkap koruptor
III. PEMBAHASAN
1. Apakah Korupsi itu?

Berbagai definisi yang menjelaskan dan menjabarkan makna korupsi dapat kita temui. Dengan penekanan pada studi masing-masing individu maka korupsi menjadi bermakna luas dan tidak hanya dari satu perspektif saja. Setiap orang bebas memaknai korupsi. Namun satu kata kunci yang bisa menyatukan berbagai macam definisi itu adalah bahwa korupsi adalah perbuatan tercela dan harus diberantas. Asal kata korupsi berasal dari kata corrumpere. Dari bahasa latin inilah kemudian diterima oleh banyak bahasa di Eropa, seperti: dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda, menjadi corruptie. Arti harfiah dari korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan arti dari kesucian, dapat disuap. Poerwadarminta mengartikan korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.
Menurut Robert Klitgaard yang mengupas korupsi dari perspektif administrasi negara, mendefinisikan korupsi sebagai Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan menyangkut tingkah laku pribadi . 9 Jeremy Pope (ed.), Pengembangan sistem Integritas Nasional (Buku Pnduan Transparency International), Grafiti, Jakarta, hal. 90,1999
2. Ciri-Ciri Korupsi
Syed Hussein Alatas yang memberikan ciri-ciri korupsi yaitu :
1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah yang membedakan dengan pencurian atau penggelapan.
2) Korupsi umumnya melibatkan kerahasiaan, ketertutupan terutama motif yang melatarbelakangi dilakukannya perbuatan korupsi itu sendiri.
3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidaklah selalu berbentuk uang.
4) Usaha untuk berlindung dibalik pembenaran hukum.
5) Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang dan mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
6) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum.
7) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu.
8) Korupsi didasarkan atas niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi.
Menurut Alatas terdapat tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi: penyuapan (bribery), pemerasan (exortion), dan nepotisme. Ketiga tipe itu berbeda namun terdapat benang merah yang menghubungkan ketiga tipe korupsi itu yaitu penempatan kepentingan-kepentingan publik di bawah tujuan-tujuan pribadi dengan pelanggaran norma-norma tugas dan kesejahteraan, yang dibarengi dengan keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan pengabaian atas kepentingan publik .Dalam masalah penyuapan Noonan memberikan deskripsi yang lebih jelas untuk membedakan penyuapan dengan pemberian hadiah . Hadiah yang sah biasanya dapat dibedakan dengan uang suap yang tidak sah. Hadiah dapat diberikan secara terbuka di depan orang ramai sedangkan uang suap tidak. Pembedaan ini dilakukan karena orang biasanya berkelit ketika dipaksa mengaku telah memberikan suap kepada orang lain maka alasan yang digunakan supaya lebih aman adalah bahwa yang diberikan adalah hadiah. Dalam melihat persoalan ini, aparat penegak hukum harus jeli untuk bisa mendefinisikan korupsi secara luas. Dari perspektif yuridis konsepsi korupsi dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 .
pasal 2 ayat (1) UU TPK menyatakan bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tujuan dari praktek-praktek diatas tercantum dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
3. Unsur-Unsur Korupsi
Beberapa unsur untuk mengidentifikasikan korupsi dalam Undang-Undang tersebut:
1) Melawan Hukum
2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi
3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
4) bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
5) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena Jabatan atau kedudukannya.
1. Siapa yang melakukan ?
Korupsi dapat dilakukan oleh siapapun juga. Dari pengertian diatas maka yang potensial melakukannya adalah pegawai negeri namun tidak menutup kemungkinan pegawai swasta melakukan perbuatan itu. Mengapa? Karena pegawai negeri lah yang secara langsung berhubungan atau menjalankan birokrasi yang berbelit-belit dan bertingkat-tingkat sehingga memiliki peluang besar untuk melakukan korupsi. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi pegawai swasta untuk melakukan korupsi terutama yang sering melaksanakan proyek-proyek pemerintah.

4. Apa yang mereka lakukan ?
Biasanya mereka melakukan penyesuaian-penyesuaian anggaran yang jauh dari kenyataan lapangan, suap-menyuap antar atasan dan bawahan atau antara pelaksana dan pengawas, pemberian hadiah-hadiah atau munculnya praktek-praktek diluar prosedur yang ada. Apa yang mereka lakukan melawan hukum atau aturan yang berlaku serta kepatutan yang ada pada masyarakat. Praktek itu tidak muncul secara tiba-tiba tetapi biasanya terencana atau sistemik.
5. Apa tujuannya ?
Jelas, ada keinginan untuk memperkaya diri sendiri karena merasa pendapatan/gaji yang diterimanya tidak cukup sehingga berbagai cara halal dilakukan. Tidak tertutup kemungkinan maksud untuk memperkaya orang lain terutama orang-orang disekitarnya baik saudara maupun kolega, karena ketika kemudahan itu diperoleh oleh orang-orang disekitarnya maka suatu saat akan ada timbal balik yang didapatkannya.
Selain itu keinginan untuk memperkaya suatu kelompok atau korporasi juga sangat dimungkinkan. Korporasi itulah yang diajak secara bersama-sama untuk melakukan korupsi. Banyak keuntungan yang bisa diperoleh. Selain tidak kelihatan pelaku nya secara orang perorangan, korporasi bekerja sangat rapi dengan berlindung dibalik kekuasaan, modal yang besar serta kedudukan yang dimilikinya.
6. Bagaimana hal itu dapat mereka lakukan ?
Dengan jabatan dan kedudukan yang ada dengan mudah perbuatan tersebut dilakukan. Dari jabatan level yang paling rendah sampai paling tinggi ada kemungkinan untuk melakukan praktek korupsi.
7. Apa akibat perbuatan tersebut ?
Perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara sehingga rakyat yang akan menerima akibatnya. Harga-harga sembako melonjak, masyarakat miskin semakin banyak tetapi beberapa gelintir orang yang kaya mendadak.
8. Menangkap koruptor
Dengan dalih bukti yang tidak cukup kejaksaan terlihat tidak serius menangani kasus korupsi apalagi yang menyangkut pejabat negara. Beberapa kasus korupsi tidak berhasil diselesaikan oleh Kejaksaan Agung. Padahal kalau kita merujuk kembali ke Undang-Undang yang ada maka dengan kewenangan yang luas bagi Kejaksaan Agung untuk melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap seorang koruptor.
Kejaksaan Agung harus cepat mengambil sikap dengan memprioritaskan kasus korupsi dengan membuat BAP (berita Acara Pemeriksaan) untuk diajukan ke pengadilan dengan bukti-bukti yang cukup (sedikit bukti sudah bisa diajukan untuk mengajukan seseorang ke muka pengadilan). Dengan bukti tersebut maka seorang tersangkalah yang akan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi. Seperti UU Anti Korupsi Malaysia (Prevention of Coruption Act Malaysia) yang menerapkan sistem pembuktian terbalik, menyatakan bahwa semua pemberian atau hadiah dianggap sebagai suap sampai terdakwa dapat membuktikan bahwa itu bukan suap.
Dari kesederhanaan proses inilah sebenarnya ada harapan yang cukup besar bagi kita untuk menegakkan atau mengembalikan supremasi hukum melalui penyelesaian kasus korupsi. Tapi niat baik dibuatnya aturan ini tidak disambut positif oleh pejabat yang berwenang (dalam hal ini kejaksaan). Nampaknya pengadilan pun berbuat sama. Beberapa koruptor yang diajukan ke muka pengadilan lolos begitu saja karena intervensi pihak luar ke proses penyelesaian perkara di pengadilan sangat besar. Berdasarkan pengalaman tersebut maka Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengantisipasi ketidakberdayaan aparat dan institusi penegak hukum.
Dengan pembentukan Komisi Anti korupsi diharapkan akan dapat menyelesaikan permasalahan mandul nya kejaksaaan dan pengadilan dalam menuntaskan kasus korupsi.
II. KESIMPULAN
Dari penjabaran di atas dapat diambil kesimpulan bahwa korupsi adalah Dari bahasa latin , seperti: dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda, menjadi corruptie. Arti harfiah dari korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, tidak bermoral, penyimpangan arti dari kesucian, dapat disuap. Poerwadarminta mengartikan korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.
Seorang yang melakukan korupsi itu harus melawan Hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi, dapat merugikan keuangan negara suatu perekonomian negara, bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena Jabatan atau kedudukannya.
III. PENUTUP
Demikianlah makalah ini saya buat, saya yakin dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan pemikiran saya. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan demi sempurnanya makalah ini. Dan semoga bermanfaat. Amiiiiiiin.

DAFTAR PUSTAKA

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta: 1982
Robert Klitgaard, Memberantas Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 1998
Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Diterjemahkan oleh Al Ghozie Usman, Cet.4. LP3ES, Jakarta: 1986
Kimberly Ann Elliot, Korupsi Dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 1999


KORUPSI DALAM PANDANGAN HUKUM


Makalah

Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Viktimologi
Dosen Pengampu: Ibu Brilian. SH



















Disusun oleh:
SUYOTO
2104056





FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2006

No comments:

Post a Comment